Jumat, 26 November 2010

Satu Tuhan Satu Pemimpin Satu Pemerintahan dan Satu Perkampungan Global



Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [4:59]

Sebelum masyarakat bumi abad ini mencita-citakan era globalisasi sebagai landasan hidup bermasyarakat, ternyata Al Qur’an menjelaskan bahwa Allah lebih dulu telah menyarankan konsep tersebut, bahkan sudah pula direalisasikan jauh sebelum masyarakat bumi hari ini.
Mengutus utusanNya adalah cara Allah untuk merealisasikan konsep tersebut, diawali di masa para malaikat Allah meminta Azajil agar memimpin seluruh malaikat untuk beribadah kepadaNya. Sekian lama kegiatan itu berlangsung kemudian Allah menciptakan seorang manusia yang dinamai Adam, untuk kembali memimpin seluruh masyarakat malaikat, termasuk Azajil pemimpin para malaikat yang sebelumnya.
Disinilah pertama sekali Allah menciptakan nalar politik, melalui ketakutan Azajil jatuh dari tampuk kepemimpinannya. Disini juga pertama sekali kegiatan unjukrasa dilakukan, berdasarkan ketakutannya Azajil mempropokasi masyarakat malaikat untuk melakukan aksi protes kepada Allah, dengan stateman, meragukan penciptaan manusia (Adam) karena dianggap akan menimbulkan masalah besar dalam bentuk pertumpahan darah.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [2:30]

            Dengan kebijaksanaan Allah menerima aksi mereka dan menanggapi stateman itu dengan syarat, meminta para malikat agar menjelaskan tentang nama-nama. Karena para malaikat tidak dapat melakukannya, Allah pun meminta manusia (Adam) untuk menjelaskannya. Dengan ijin Allah dihadapan masyarakat malaikat Adam menjelaskan dengan terang nama-nama itu, kemudian Allah meminta masyarakat malaikat agar mengikuti dan mematuhi Adam sebagai pemimpin baru.
            Azajil yang membuktikan kekalahannya menjadi bersikap aneh, ia menyombongkan diri takabur dengan tidak mematuhi perintah Allah, beliau tak mau mengikuti manusia (Adam), sebab itu ia berganti nama menjadi Iblis dan terusir menjadi golongan lain.

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” [2:31]
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [2:32]

  Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” [2:33]

Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. [2:34]

            Kisah diatas menunjukan bahwa selain sebagai pemilik konsep, Allah juga memiliki sekenario yang akan dan telah berlansung hingga artikel ini muncul. Penciptaan Adam sebagai pemimpin adalah awal dimana Allah menjadikan Iblis sebagai lawan main bagi Adam untuk merealisasikan konsep tersebut dimuka bumi.
            Pengusiran Adam dari surga kebumi merupakan pemutlakan penuh kepada Adam atas tugas mewujudkan konsep globalisasi ketuhanan sebagai landasan menata masyarakat bumi. Sebagai tandingan yang baik Iblis dengan berbagai strategi dan propagandanya senantiasa menyertai, berupaya menggagalkan Adam dalam mewujudkan masyarakat agar terkordinasi kedalam konsep globalisasi ketuhanan.

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." [2:36]

Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". [2:38]

Misi Iblis untuk menggagalkan konsep globalisasi ketuhanan itu tidak berakhir ketika posisi Adam digantikan oleh Nuh atau penerusnya. Dalam kompetisinya konsep ini selalu mencapai kemenangan, begitu pun fungsi Iblis tidak pernah mengalami masa statis. Berpindahnya wewenang pelaksanaan konsep ketuhanan ini selalu disesuaikan dengan kondisi dan situasi masa, dimana jarak waktu antara Adam dengan Nuh berselang transisi yang cukup panjang. Muatan dalam transisi panjang itu adalah beragam motif persoalan sosial yang berpotensi menggeser pandangan religiuistik dari bentuk originalnya, propanganda seperti ini biasanya dilakukan oleh kader-kader Iblis.
            Akhirnya dapat dipahami bahwa tidak hanya Adam, tapi Iblis juga diberi kesempatan untuk melahirkan regenerasi guna melaksanakan idiologinya. Sebab itu Nuh akan berhadapan dengan lawan mainnya, begitu pun Idris, Soleh, Zulkarnain, Yusuf, Ibrahim, Musa, serta banyak lagi utusan Allah yang tak dapat disebutkan hingga sampai kepada Isa dan Muhammad.     
            Program globalisasi yang digulirkan untuk masyarakat bumi abad ini belum dapat diketahui, apakah kelanjutan dari utusan Allah ataukah lawan mainnya, karena tidak jelas siapa vigur utama yang memotorinya. Segala bangsa dan Negara termasuk Indonesia terkesan sangat proaktif atas keberhasilan program ini, akan tetapi informasi seputar tujuan serta sumber keberangkatannya tidak disertakan, sehingga program globalisasi tersebut seolah hanya sekedar bujuk rayu yang dipaksakan. Belum lagi ketika berbagai bangsa yang mendukung keras program tersebut tidak dapat menemukan materi solusi atas konflik klasik religiuistik abad ini, seperti pertikaian Israel dan Palestina.
Lain hal dengan globalisasi ketuhanan, tidak hanya tujuan atau sumber keberangakatan, tapi vigur utama pelaksananya dengan mudah  dapat dikenali. Kitab Suci sebagai pedoman tata tertib pelaksanaannya pun sejak lama telah beredar, bahkan sebelum kita hadir dimuka bumi ini.
Setelah menelusuri nilai transparatifnya maka kelihatanlah beda motivasi dari kedua konsep tersebut, dan dapat pula mengenali originalitas otentik antar keduanya. Kemudian dengan bukti itu dapat diketahui bahwa satu diantaranya adalah rekomendasi dari musuh Adam.
Artinya konsep globalisasi yang digembar-gemborkan pada masyarakat bumi saat ini adalah propaganda, atau produk palsu yang dikeluarkan Iblis untuk dilaksanakan oleh kader-kadernya. Selain bertujuan menggagalkan misi utusan Allah, juga berupaya menguasai dunia dengan satu pemerintahan zolim tanpa mengantongi legalitas dari Allah.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. [4:58]

            Baiknya bagi kita saat ini adalah berupaya mengenali konsep globalisasi yang sesungguhnya, yaitu globalisasi ketuhanan. Langkah awalnya adalah mencari siapa sosok vigur atau motor yang diutus Allah untuk melaksanakan konsep tersebut pada hari ini. Sebab dengan ijin Allah vigur yang dimaksud menguasai pedoman tata tertib pelaksanaan konsep tersebut (Kitab Suci), sebagaimana Adam yang mampu menjelaskan tentang nama-nama. 

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. [14:4]

            Dengan begitu mutlak kita dapat tau dan memahami, berdasarkan ketetapan siapakah globalisasi itu harus diwujudkan, siapa pimpinan pelaksananya, bagaimana bentuk pemerintahannya, dan bagaimana ending yang menjadi orientasinya. Salam.***



                    
                            

           





      
           


 

Curhat dengan Para Pemuka yang menjadi Kafir


Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.[14:4]

            Hari ini kepala dan hati kebanyakan kita masih menyebutkan “Allah Maha Kuasa,” berani mengklem bahwa tidak ada yang bisa mengimbangi kekuasaanNya. Tapi kebanyakan kita juga seringkali lupa, tanpa sadar berani menentang atau menolak kekuasaan Allah, terkadang sampai harus ngotot, menegangkan urat syaraf, bahkan dengan olok-olokan. Apa lagi ketika berita Al Qur’an dikumandangkan, sikap tadi akan berkembang menjadi tindakan penyerangan, dengan fitnah atau benda apa saja yang dapat mencederai.
            Aksi semacam itu digunakan untuk menolak kehadiran utusan Allah yang pada kapasitasnya bertugas mengkabarkan berita Al Qur’an kepada dunia. Bentuk penolakan ini berarti upaya pembatasan terhadap kekuasaan Allah, sadar atau tidak siapa saja bisa terjebak kedalam sifat sombong serupa ini. Sempurnanya mental seperti ini disebut dzolim, sebab isi kepala, ucapan lidah dengan hati cendrung menyimpang dari perbuatan, dan karakter inilah yang disebut jahiliyah (bodoh), padahal mereka tau bahwa tidak ada yang bisa menyamai kekuasaan Allah.

Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang Tinggi di sisi Tuhan mereka". orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang Ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata".[10:2]

Orang-orang yang menolak kehadiran Muhammad pada masa itu memfitnah beliau sebagai “tukang sihir.” Hal wajar ini terjadi sebab setiap manusia ketika itu sudah menganggap diri mereka ta’at dan soleh, dengan meyakini beberapa nama agama yang dibawa oleh utusan Allah sebelumnya (sudah lama wafat) dan tidak pernah berjumpa dengan mereka. Tak jauh beda, gelar “si tukang doktrin” akan keluar dari mulut orang yang menolak kehadiran utusan Allah di masa ini.
Sifat orang-orang seperti ini disebut “kafir” (ingkar), alasannya karena mereka mengingkari kekuasaan Allah, walaupun sebenarnya mereka adalah ahli ibadah, ahli kitab (para pemuka) atau orang-orang ta’at dan soleh, mereka ingin Allah tidak berkuasa lagi mengutus seorang utusanNya di muka bumi.

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: "Orang Ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih Tinggi dari kamu. dan kalau Allah menghendaki, tentu dia mengutus beberapa orang malaikat. belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.[23:24]

                Pengenalan yang kita dapati dari garis turun temurun (nenek moyang) mengenai orang-orang kafir ternyata meleset jauh dari kitab suci. Al Qur’an tidak mengatakan orang yang berbeda nama agama dengan kita adalah kafir. Tapi setiap orang yang menolak ayat-ayat Allah serta menolak kehadiran utusan yang mengumandangkan ayat-ayatNya, inilah yang diberitakan Al Qur’an sebagai kafir.

Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat kami di hadapan mereka. Katakanlah: "Apakah akan Aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?" Allah Telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.[22:72]

Kita tidak berhak dan tidak boleh terlalu cepat mengkafirkan orang lain sebelum ayat-ayat Allah disampaikan pada mereka. Sebab siapa pun orang yang mengindahkan ayat-ayat Allah dengan menerima kehadiran utusanNya akan sempurna menjadi orang ber-iman (pecaya). Tidak pandang setatus apakah orang itu berlatar belakang sebagai orang ta’at atau maksiat, tak juga perduli dari golongan kaya, miskin, pintar atau bodoh. Jelasnya pada posisi ini besar kesempatan bagi mereka untuk membuktikan sekaligus menggenapkan rukun iman, agar tidak sekedar menjadi sebut-sebutan belaka.    
            Berpegang pada pengertian nenek moyang ternyata berakibat fatal, fakta ini jelas tergambarkan ketika sikap arogan menganggap diri paling benar semakin terpupuk, pertikaian atas nama agama pun acapkali terjadi, spekulasi politik dengan menunggangi fanatisme keagamaan guna meluluskan suatu kepetingan semakin terang-terangan, sengaja menciptakan isu terorisme lengkap dengan aktor-aktor papan atasnya yang cukup berani dan komersil.
Perkembangan pesat gejala ini berhasil menanggalkan konsekuensi makna kata agama itu sendiri, yang berarti “tidak kacau” berubah menjadi “kacau”. Mungkin penalaran sejauh inilah yang meyebabkan penyair senior Indonesia (Alm. WS. Rendra) pernah bertanya dalam syairnya “apakah agama di bumi ini benar-benar ada?”
Konsenterasi pertanyaan ini tidak dipakai sebagai identitas anti Tuhan, terbukti saat detik-detik kepulangannya, dalam kadaan terbaring (sakit) beliau minta bantuan asisten untuk menuliskan teriakannya pada ujung syair terakhir “Tuhan aku cinta pada Mu!!” Jadi jelas pertanyaan Rendra itu adalah pukulan keras terhadap tanggungjawab para pemuka, yang kemudian tanpa bekal nalar filosopi mereka tak mampu meresponnya kecuali hanya membiarkan saja pertanyaan itu berlalu.
Sejarah lebih dulu telah mencatat setiap kelakuan dan sikap para pemuka, bukan cuma di zaman Muhammad, Isa, Musa, Daud, Ibrahim atau Nuh, akan tetapi sejarah juga menuliskan bahwa penentang Allah di zaman Adam juga adalah pemuka (Iblis) yang sesungguhnya ia ta’at beribadah bahkan sempat memimpin para Malaikat.

Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.[2:34]

Wajar jika para pemuka itu menjadi sombong, selain memiliki cukup ilmu mereka pun dilengkapi dengan kecukupan pinansial juga kekuasaan. Sebab adanya kemapanan ini tidak menutup kemungkinan jika mereka selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus (mahal) serta merta memiliki kulit mulus dan indah. Potensi ini pun sering pula dipakai para pemuka untuk menolak ketetapan Allah ketika meminta mereka agar mengikuti rasul yang diutusNya. Tak ubahnya Iblis saat membandingkan fisik (materi) atau jasadnya dengan Adam.

Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".[7:12]

Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?” Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau Telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk".[15:32-33]

            Berbagai penomena alam yang baru-baru ini terjadi berhasil merampas perhatian dunia, jarak tempuh pemikiran publik dapat dibaca ketika mengikuti segala retorika yang muncul setelahnya. Persiapan untuk menghadapi kiamat tiba-tiba menjadi bahan konsultasi popular yang diajukan bagi para pemuka, tentu saja beragam motif praktek cuci otak dan propaganda menjadi peluang untuk direalisasikan.
Sikap menjadikan diri sebagi hakim atas gejolak yang dianggap kemaksiatan tanpa terasa semakin meningkatkan produktifitas pada kegitan manipulasi informasi menyangkut penomena alam yang berlansung. Di mana berbagai penomena itu merupakan simbol kecil dari Allah atas kehadiran utusanNya agar menjadi ikutan umat manusia pada zaman ini.

Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.[9:128]

Dan Ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,[49:7]

Tanpa mengharapkan imbalan apa pun artikel ini diketengahkan hanya sekedar memberi ingatan kepada siapa saja yang dapat membacanya, lagian tidak baik menukar atau menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang lebih rendah dari pada kebenaran ini. Menyampaikan walau sepotong ayat (tanda) saja pun yang diketahui sudah kita pahami sebagai parintah Allah, masalahnya adalah “jika bukan aku kenapa tidak kau” yang mengambil tugas untuk menyampaikan berita ini, agar tidak hanya aku tapi semua dapat tau, siapa yang patut kita ikuti untuk meniti jalan lurus ini. Salam***



           

Tersesat di Jalan yang Lurus


 Dan Sesungguhnya Telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; Maka apabila Telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. dan ketika itu Rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.[40:78]

Tidak hanya kita, awal mulanya anak-anak kita juga mendapat pengajaran dari orang tua, kemudian bekal itu dikembangkan di Taman Kanak (TK), ada yang langsung ke Sekolah Dasar (SD), lalu berlanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA-K), dan  setelah itu keperguruan tinggi (Univesitas) terserah apa namanya. Dari paket-paket pendidikan ini kita dan anak-anak kita ditempah untuk memahami urutan para Nabi (pembawa berita), di mana menurut hitungannya para pembawa berita itu terbatas cuma sampai angka 25 (duapuluh lima), diawali dari Adam hingga diakhiri oleh Muhammad bin Abdullah.  
            Herannya mengenai hal ini Al Qur’an tidak memuat batas jumlah para nabi, jelasnya Al Qur’an tidak memberi informasi mengenai anak Abadullah suami Hadijah itu sebagai nabi  terakhir. Al Qur’an hanya memberitakan bahwa yang menutup kenabian adalah pesuruh (rasul) Allah, dan yang mengemban tugas ini sudah pasti “terpuji,” kata terpuji ini dalam bahasa Arab berbunyi “Muhammad.” Akan menjadi lebih terpuji karena orang ini berani memberitakan Al Qur’an keseluruh dunia, walaupun umat manusia mengaku telah memeluk satu nama agama yang didapati dari garis keturunan.
           
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[33:40]

            Tidak selarasnya paket pendidikan selama ini dengan Al Qur’an menguatkan bukti bahwa kegiatan manipulasi informasi sejak lama telah dilakukan, demi menyempurnakan dogma yang kemudian disebarluaskan untuk menggeser originalitas akidah dari mata pandang setiap pemeluknya, terlepas apa pun nama agamanya.
Suksesnya misi tersebut dapat dirasakan ketika masyarakat bumi yang hidup saat ini sepakat untuk mengatakan “tidak ada lagi rasul” yang akan diutus Allah kemuka bumi.
            Argumen ini memiliki akar yang cukup kuat, kelahirannya pun seiring dengan penurunan wahyu sejak pertamakalinya. Kebanyakan masyarakat yang terlanjur menjadi konsumen argumen klasik ini akan heran, atau bisa jadi syock ketika mendengar kabar dari si pembawa berita. Akibatnya keheranan tingkat tinggi itu berputar di dalam kepala masing-masing dan berubah menjadi sikap skeptis. Pertama sekali mereka ragu dengan berita besar yang dikabarkan, kemudian mereka menjadi lebih ragu pada keyakinan yang selama ini mereka anut dari garis keturunan itu.
            Keraguan demikian tercipta atas penjelasan yang cukup terang dari berita yang dikumandangkan oleh si pembawanya (Nabi), di mana autentisitas berita tersebut bersumber dari kitab suci yang selama ini mereka baca. Walau pun demikian sunatullah tetap akan berlaku, sebagaimana Al Qur’an (Kitab Suci) telah menjelaskan.

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

            “Setipis kulit bawang,” mungkin ini kalimat yang tepat untuk memaknai perbedaan antara orang-orang tersesat dengan yang mendapat petunjuk. Siapa saja yang menolak kehadiran si pembawa berita akan mengeluarkan fonis sesat kepada orang tersebut termasuk siapa saja yang percaya kepadanya. Sementara bukti kuat menjelaskan bahwa kehadiran orang yang menerangkan dengan jelaskan itu adalah sebagai filter atas kesunguhan serta ketulusan setiap manusia yang mengaku beriman (percaya) pada Allah. Artinya Al Qur’an  memberitakan bahwa sesungguhnya orang-oarang sesat dihadapan Allah adalah setiap orang yang bertungkuslumus menolak dan menentang kehadiran orang yang menjelaskan, karena beliau adalah pesuruh (rasul) Allah.
            Jika diperhatikan hal ini adalah bentuk kebijaksanaan dan kekuasaan Allah, karena Allah tidak membedakan derajat antara orang maksiat dengan orang ta’at, siapa saja yang berani menolak utusanNya adalah tersesat, begitu juga sebaliknya, baik dengan suka atau pun terpakas siapa saja yang menerima dan mengikuti utusNya maka sempurnalah ia menjadi orang yang beragama.

Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".[3:64]

Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepada kamu Rasul kami, menjelaskan (syari'at kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya Telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[5:19]

            Orang-orang yang memilih kesesatan akan lebih keras menyuarakan bahwa si pembawa berita dan orang-orang yang mengikutinya adalah sesat. Selain menggunakan slogan yang bermutan fitnah mereka juga cendrung mengunakan fisik, sudah barang tentu muatnnya adalah niat untuk mecederai. Tidak cukup dengan itu, orang-orang tersesat ini juga ingin sekali menjerat si pembawa berita dengan hukum Negara yang dianggap berlaku, walau sebenarnya itu bukan acaman baginya.
            Seperti itulah sikap dan perlakuan Fir’aun kepada Musa, Abu Jahal kepada Muhamad bin Abdullah, para pemuka agama dan Raja Roma kepada Isa putra Maryam, dan perlakuan serupa itu telah diterapkan oleh Dajjal di masa sekarang ini.
            Namun demikian si pembawa berita akan tetap meletakan senyum dibibir, menyadari bahwa begitu sulitnya untuk membawa manusia agar segera hijarah dari keyakinan nenek moyang menuju kepada keyakinan yang sesungguhnya disisi Allah.
Sambil merendahkan hati sembari berbisik “ya, memang saat ini aku sedang tersesat, di jalan yang lurus.” Salam***
                
                


Kamis, 25 November 2010

Celoteh di Balik Kiblat


Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.[2:177]

Hasil kesepakatan para ahli dengan para pemuka mengenai lempengan bumi dan kiblat bukan suatu kerugian jika didengarkan, tidak juga merupakan keberuntungan kalau ada yang membantah atau pun menerimanya. Bukti pada mereka tidak berpotensi untuk melahirkan fakta seputar dosa dan pahala sebagai ganjaran bagi yang ikut atau tidak melaksanakannya. Lagipula kegiatan ritual (ibadah) yang mengharuskan arah wajah ke Ka’bah itu tidak dilaksanakan atas harapan mendapatkan surga atau takut pada neraka, akan tetapi kegitan ini adalah simbol ketakwaan, tidak bisa diraih dengan modal ilmu.
Mengutarakan argumen kesempurnaan ritual atas kesepakatan tersebut hanya dipandang sebagai upaya pembenaran keputusan pada publikasinya, sikap pemberitaan ini seolah tidak mengambil kesempatan berpikir pada kedalaman dampak yang berikut akan terjadi. Jika pada permukaan dampak terlihat keraguan lahir akibat kesimpangsiuran pemikiran, dan secara manusiawi dapat mengurangi kenyamanan dalam melaksanakan ritual, maka sesuatu yang fatal ada pada kedalamannya.         
Bukan saja membuang masa, terciptanya refleksi jarak mengakibatkan publik semakin jauh dari hakikat makna ritual yang sesungguhnya, dimana wujud makna tersebut harus dijelamakan. Tidak ingin bermimpi agar hal dimaksud dapat disegerakan, sebab upaya mendekatkan publik kearah tersebut merupakan kerja keras yang telah dilakukan, walau pun para ahli dan pemuka selalu dengan beragam kesepakatan, terlepas sengaja atau tidak berusaha menghalangi agar terhindar dari puncak pencapaiannya. Kalimaksnya kelembutan arogansi pembodohan semakin terlindungi dari jangkauan pandangan awam, sehingga sentuhan nalar setiap individu publik tidak peka untuk merespon sinyal kebenaran yang telah diutarakan.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.[3:96]

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.[3:97]


Sejarah panjang Ka’bah diawali oleh Ibrahim sebagai penadas batu pertama (azar aswad), mejadikan bangunan bersegi empat ini pusat peribatan bagi masyarakat Islam masa kini, hampir 1500 tahun kotak yang dibungkus kain hitam itu menjadi syarat menentukan arah wajah saat melakukan ritual, yang pelaksanaannya lima kali dalam sehari. Jika melihat pada kedalaman nilai historisnya Ka’bah tidak hanya menjadai pusat peribadatan bagi masyarakat Islam saja, bermacam nama agama sebelumnya pun telah lebih dulu menjadikan Ka’bah sebagai pusat peribatan.
Disini ada hal yang tidak layak untuk dilupakan, selain sebagai bukti risalah serta penghormatan besar pada pendahulu, setiap utusan Allah selalu menjadikan Ka’bah titik tumpu akhir sebagai wadah berkumpul umatnya. Tidak usah heran mengapa Muhammad pernah meminta orang-orang terdekatnya untuk memindahkan banyak patung dari dalam Ka’bah kecuali hanya beberapa saja. Isa putra Maryam pernah mengancam orang-orang yang menyalahgunakan Ka’bah menjadi pusat perdagangan (pasar), dengan mengatakan “aku akan menghancurkan Bait Allah dalam waktu tiga hari, jika mereka tidak berhenti dari kebiasaannya.” Begitu juga Musa, diakhir perjuangannya ia meminta seluruh umatnya agar merawat makam dan batu yang diletakan Ibrahim pertama kalinya.
Dari ketiga peristwa diatas dapat dipelajari bahwa setiap kali utusan Allah meninggalkan umatnya, pengertian serta pandangan akidah mereka selalu mengalami pergeseran, terlebih ketika menyikapi keberadaan Ka’bah. Begitulah manusia saat ini, setelah Muhammad mangkat banyak cabang ilmu bersekala religius telah menggeser pandangan akidah masyarakat Islam, dengan berlindung dibalik dialetika kekiblatan menjadikan Ka’bah sebagai berhala dan objek bisnis ritual. Kegiatan itu akhirnya berhasil membungkam komunikasi informatif seputar kepemimpinan yang dianjurkan dalam Kitab Suci (Al Qur’an).
Keselarasan tiga peristiwa diatas terhadap Al Qur’an kontras dapat dilihat, bahwa untuk menetapkan wajah seluruh umat manusia agar menghadap ke Ka’bah adalah keputusan Allah, yang disosialisasikan oleh utusanNya, selaku pemegang mandat kepemimpinan. Pernyataan ini akan dianggap miring ketika piramida paham serta pandangan religius kekinian dibangun dengan radiasi kultural, kemudian endapan dari konsumsifitasnya bertitik pada penolakan terhadap kehadiran utusan Allah. Dalam bentuk relativitas peristiwa ini selalu akan mengalami masa pengulangan, sejak zaman Adam hingga kemasa Muhammad.
Dengan pengolahan emosional yang baik nalar kita harusnya bertanya, adakah sosok pemimpin bagi seluruh masyarakat Islam di muka bumi hari ini? Jika ingin membatalkan kebenaran Al Qur’an jawaban terbaiknya adalah “tidak.” Sebaliknya jika ingin menyempurnakan bukti ketakwaan dihadapan Allah, maka kita harus memberi jawaban “ya” dengan menyatukan telapak tangan kepada sosok yang dimaksud.
Idealnya kita mesti sampai pada kesadaran, bahwa Muhammad bin Abdullah tidak sempat menyaksikan keislaman kita, Isa putra Mryam tidak diberikan cukup waktu untuk memilih salahseorang dari kita agar dijadikan murid ketigabelasnya, kita juga tidak dapat berkunjung kemasa lalu dan serta di dalam kisah Musa ketika menghadapi fir’aun.
Mirisnya logika akan bertanya “umat siapa kamu?” Sebagai hamba Allah hati pasti menjadi malu. Salam.***