Kamis, 25 November 2010

Islam Sonto Loyo

Dalam artikel Revolusi Islam (saat Al Qur’an bicara), ditegaskan telah banyak yang menuggangi kata salam.  Contoh kontras ini mudah dilihat dari peristiwa makar, menyerang sekelompok masyarakat yang dituduh telah melecehkan satu ajaran agama tanpa bukti kuat. Sayangnya aktivitas ini sering dilakukan oleh mereka yang mengaku pribadi beragama, seolah agama mereka mengajarkan tindakan makar itu dilakukan.
Semua tahu makar itu mudharat, selalu berdampak kerugian, identik dengan perusakan fisik, moril dan mental. Juga terkadang terkait dengan unsur politik sakit alias tidak sehat, sengaja menunggangi satu keyakinan untuk menghantam keyakinan lain, pahitnya peristiwa ini terjadi tidak lagi antar agama, tapi sudah sesama agama.
Siapa pun manusianya tentu sangat berkeinginan menjaga keutuhan esensi dalam setiap keyakinan yang dianutnya, siap melakukan apa saja, bahkan membunuh jika perlu bila ada seseorang atau segerombolan manusia yang berani menghinakan agamanya, dan itu dianggap jihad.
Artikel ini ditulis dengan maksud tidak untuk menggurui, penulis tidak pantas menjadi guru dalam hal ini, sebab ilmu agama penulis masih seujung kuku jika dibandingkan dengan ilmu agama para pemuka, jelas tidak ada apa-apanya. Hanya saja dalam hal ini kita semua perlu mengambil sikap. Siapa pun kita, para Ulama, pakar politik, pakar ekonomi, budayawan dan seniman, aparatur negara, bahkan rakyat yang bersetatus gelandangan tetap saja berhak untuk menjaga bumi Indonesi dari bentuk pertikaian.
Tidak maksud membela dan menyalahkan korban atau sipelaku (makar), hanya upaya mendorong agar kita dapat lebih mendulukan mencari kebenaran didalam permasalahan tersebut, bukan kesalahan. Jika berani melihat, mengakui, dan mengambil kebenaran dari setiap permasalahan, maka akan lebih mudah mendapati solusi bijak dalam penyelesaiannya. Sebaliknya jangan heran jika permasalahan akan semakin berkembang, sebab kegiatan  mencari kesalahan akan mempropokasi hati untuk menebar kebencian. Kebanyakan kita rakyat Indonesia, bahkan disemua golongan banyak yang belum menyadari dan menginsafi akan kelemahan ini.
Jika demikian wajar konflik agama itu sering terjadi, hingga levelnya sudah sampai pada tingkat sesat menyesatkan. Di level ini sering terjadi adegan yang menggelitik (lucu), karena fatwa sesat yang sering dikeluarkan oleh golongan pemuka agama itu sering membuat kita tertawa sendiri.
Ketika jelas melihat pada sisi kebenarannya, pertanyaan ironis pun hadir dalam pikiran, “siapa kah sebenarnya yang sesat, sikorban atau simakar?”. Diawal sudah dikatakan, setiap kita tentu punya respon untuk membela agama yang kita yakini jika dilihat ada yang melecehkannya. Kita juga yakin para pemuka agama sedang melakukan hal ini, tapi sangat dimohonkan kepada mereka, agar bertindak jangan melanggar aturan negara yang sudah ditetapkan.
Dalam UUD 1945, pasal 29 , ayat 2, dijelaskan bahwa “negara mejamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk Agamanya masing-masing dan beribadat menurut Agama dan kepercayaannya masing-masing”. Kemudian para pemuka juga mengaku memeluk agama yang katanya Islam, nah Islam ini lah yang mereka bela dengan melakukan penyerangan pada sekelompok masyarakat yang mengaku Islam juga.
Sepertinya mereka tidak memahami atau pura-pura lupa dengan kalimat Tuhan mereka, padahal sudah jelas dituliskan dalam kitab yang mereka pegang (Al Qur’an), didalamnya tertulis larangan Tuhan  agar jangan melakukan perusakan di muka bumi.

Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi[24]". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."[2:11]

Kemudian melihat masyarakat korban, jika benar sedang merealisasikan kebenaran, tentulah mereka harus mengikuti petunjuk yang lurus, pastinya yang  tertulis dalam Kitab Suci (Al Qur’an) sebab kitab tersebut berisikan wahyu menurut keislaman, dan menjadi kitab suci umat Islam sedunia.
Entah sebab apa masyarakat yang menjadi wadah pelemparan fatwa sesat itu kini diam, sepertinya mereka tak menemukan petunjuk dari Kitap Suci, seolah kitab itu lemah jika dibandingkan dengan fatwa-fatwa yang menyesatkan itu. Jika mereka sedang menegakkan kebenaran dengan petunjuk yang lurus, tentunya mereka akan mendapati perintah Tuhan.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.[2:178]

Dari penjelasan ini dapat dilihat, bahwa mereka yang terlibat didalam konflik tersebut, sudah tidak lagi memakai Al Qur’an, jadi apa sebenarnya yang mereka bela? Sebab Islam bukan sekedar kata atau pun nama, Islam bukan hanya sebutan, Islam bukan sekedar pengakuan. Jika Islam dapat dibatasi oleh yang demikian, maka Islam itu akan menjadi Islam Sontoloyo.
Islam tidak dapat dibatasi oleh sesuatu apapun dari dunia ini, apa lagi berbagai batasan itu lahir dari pikiran kita, lahir dari ilmu pengetahuan yang ada di kepala, Islam itu fleksible, Islam itu up todate, bukan Islam Sontoloyo, salam.***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar